Dampak emosional ketunarunguan pada diri anak sendiri sangatlah kompleks, dan dapat terjadi sangat tergantung pada seberapa baiknya orang tua menggeluti ketunarungan itu, juga tergantung pada medotologi pendidikan serta lingkungan anak itu dididik. Anak-anak tunarungu bawaan tidak mengalami ketunarungan sebagai suatu kehilangan. Bapak awal kehidupan mereka, mereka mengamati adanya perbedaan antara diri mereka dan orangtua serta teman-teman yang pendengar. Biasanya mereka tidak diajari bahwa ketunarunguan bernilai negatif, dan mereka tampaknya senang-senang saja. Mereka tidak sadar bahwa ada perbedaan yang makna antara diri mereka dan orang lain. Konotasi yang negatif tentang ketunarunguan biasanya timbul pada waktu kemudian, yakni dalam pengalaman pendidikannya.
Bagi anak usia sekolah yang kurang mendengar, dan dididik di sekolah umum, biasanya muncul masalah isolasi sosial yang cukup serius. Dalam hal ini perbedaan antara mereka dan anak berpendengaran normal diketahui dengan jelas dan dinilai negatif. Anak-anak yang tunarungu sering merasa ada sesuatu yang rusak atau tidak beres dalam diri mereka. Apapun keberhasilan akademik mereka, masalah sosial mendominasi anak usia sekolah. Hasil pengamatan, orang tua anak-anak tunarungu yang dididik di sekolah umum sangat merasa prihatin akan keyakinan diri anak mereka dan kurangnya jumlah teman mereka, sedangkan anak di SLB untuk anak-anak tunarungu lebih prihatin lagi akan prestasi akademik mereka dibandingkan dengan penerimaan sosial.
Bagi kaum remaja, identitas merupakan masalah utama (Erikson 1980). Remaja-remaja tunarungu atau kurang dengar yang di sekolahkan di sekolah biasa sangat menderita karena mereka merasa tidak dapat menemukan dan menjalin relasi dengan kelompok teman sebaya. Atau dengan model peran kaum dewasa untuk membentuk diri mereka sendiri. Terlalu banyak pendidik kaum tunarungu, khususnya mereka memiliki kedekatan auditoris-verbal keras, seringkali memuji nilai akademik anak dan mengabaikan konsekuensi-konsekuensi sosial-emosional dari pendekatan pendidikan mereka
Sekarang sudah ada kader kaum dewasa tunarungu yang sudah menikmati manfaat pendidikan dalam bidang profesinya, antara lain: dileksi, amplifikasi yang makin sempurna, dan metodologi yang mendorong digunakan pendengaran, tetapi sering sulit menemukan kelompok sahabat. Umumnya mereka merasa tidak cocok di dalam komunitas kaum tunarungu yang cenderung memandang mereka sebagai pendengar. Mereka juga tidak cocok di dalam komunitas kaum mendengar yang cenderung memandang mereka sebagai tunarungu. Masalah ini harus ditangani pada taraf organisasi, karena hal ini akan terjadi lebih gawat sementara anak-anak itu bertumbuh.
Berbagai sumber
0 komentar:
Posting Komentar